'' Sejarah Ringkas Ibnu Taimiyah ''


Ia bernama Ahmad ibn Taimiyah, lahir di Harran dalam keluarga pencinta ilmu
dalam madzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang baik dan tenang pembawaannya, ia
termasuk orang yang dimuliakan oleh para ulama daratan Syam saat itu, juga dimuliakan
oleh orang-orang pemerintahan hingga mereka memberikan kepadanya beberapa tugas
ilmiah sebagai bantuan mereka atas ayah Ibn Taimiyah ini. Ketika ayahnya ini
meninggal, mereka kemudian mengangkat Ibn Taimiyah sebagai pengganti untuk tugastugas
ilmiah ayahnya tersebut. Bahkan mereka sengaja menghadiri majelis-majelis Ibn
Taimiyah sebagai support baginya dalam tugasnya tersebut, dan mereka memberikan
pujian kepadanya untuk itu. Ini tidak lain karena mereka memandang terhadap dedikasi
ayahnya dahulu dalam memangku jabatan ilmiah yang telah ia emban. Namun ternyata
pujian mereka terhadap Ibn Taimiyah ini menjadikan dia lalai dan terbuai. Ibn Taimiyah
tidak pernah memperhatikan akibat dari pujian-pujian yang mereka lontarkan baginya.
Dari sini, Ibn Taimiyah mulai muncul dengan faham-faham bid’ah sedikit demi sedikit.
Dan orang-orang yang berada di sekelilingnyapun lalu sedikit demi sedikit menjauhinya
karena faham-faham bid’ah yang dimunculkannya tersebut.
Ibn Taimiyah ini sekalipun cukup terkenal namanya, banyak karya-karyanya dan
cukup banyak pengikutnya, namun dia adalah orang yang telah banyak menyalahi
konsensus (ijma’) ulama dalam berbagai masalah agama. Hal ini sebagaimana dinyatakan
oleh al-Muhaddits al-Hafizh al-Faqih Waliyyuddin al-‘Iraqi, sebagi berikut: “Ia (Ibn
Taimiyah) telah membakar ijma’ dalam berbagai masalah agama yang sangat banyak,
disebutkan hingga enam puluh masalah. Sebagian dalam masalah yang terkait dengan
pokok-pokok akidah, sebagian lainnya dalam masalah-masalah furu’. Dalam seluruh
masalah tersebut ia telah menyalahi apa yang telah menjadi kesepakatan ulama -sebagai
Ijma’- di atasnya”.
Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi di zaman sekarangyang
tidak mengenal persis siapa Ibn Taimiyah terlena dan terbuai dengan “kebesaran”
namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana “budak” bagi faham-faham yang
diusung oleh Ibn Taimiyah ini. Para ulama di masa itu, di masa hidup Ibn Taimiyah
sendiri telah banyak yang memerangi faham-faham tersebut dan menyatakan bahwa Ibn
Taimiyah adalah pembawa ajaran-ajaran baharu dan ahli bid’ah. Di antara ulama
terkemuka yang hidup di masa Ibn Taimiyah sendiri dan gigih memerangi fahamfahamnya
tersebut adalah al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-
Subki. Beliau telah menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai bantahan atas
kesesatan Ibn Taimiyah. Imam Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama terkemuka multi
disipliner yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau telah mencapai derajat
mujtahid mutlak, seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah atau
lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau terhadap Ibn Taimiyah,
beliau menuslikan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Ibn Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah
membuat faham-faham baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah
menghancurkan sendi-sendi Islam dan rukun-rukun keyakinannya. Dalam
mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia memakai topeng atas nama
mengikut al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri sebagai orang yang
menyeru kepada kebenaran dan kepada jalan surga. Sesungguhnya dia bukan
seorang yang mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah seorang yang telah
membawa ajaran baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah menyimpang dari
mayoritas umat Islam dengan menyalahi berbagai masalah yang telah menjadi
ijma’. Ia telah berkeyakinan pada Dzat Allah yang Maha Suci sebagai Dzat
yang memiliki anggota-anggota badan dan tersusun darinya”1.
Di antara faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah dalam masalah pokok-pokok agama
yang telah menyalahi ijma’ adalah; berkeyakinan bahwa jenis alam ini tidak memiliki
permulaan. Menurutnya jenis (al-Jins atau an-Nau’) alam ini qadim bersama Allah.
Artinya menurut Ibn Taimiyah jenis alam ini qadim seperti Qadim-nya Allah. Bagi Ibn
Taimiyah yang baharu itu hanya materi-meteri (al-Maddah) alam ini saja. Dalam hal ini,
Ibn Taimiayh telah mengambil separuh kekufuran kaum filosof terdahulu yang
berkeyakinan bahwa alam ini Qadim, baik dari segi jenis maupun materi-materinya. Ibn
Taimiyah mengambil separuh kekufuran mereka, mengatakan bahwa yang qadim dari
1 ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.
alam ini adalah dari segi jenisnya. Dua faham ini sama-sama sebagai suatu kekufuran
dengan kesepakatan (ijma’) para ulama, sebagaimana ijma’ ini telah dinyatakan di
antaranya oleh al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ Bi Syarh
Jama’ al-Jawami’. Karena keyakinan semacam ini sama dengan menetapkan adanya
sesuatu yang azali kepada selain Allah, dan menetapkan sifat yang hanya dimiliki Allah
bagi makhluk-makhluk-Nya.
Faham ekstrim lainnya, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah adalah Dzat yang
tersusun dari anggota-anggota badan. Menurutnya Allah bergerak dari atas ke bawah,
memiliki tempat dan arah, dan disifati dengan berbagai sifat benda lainnya. Dalam
beberapa karyanya dengan sangat jelas Ibn Taimiyah menuliskan bahwa Allah memiliki
ukuran persis sebesar ‘arsy, tidak lebih besar dan tidak lebih kecil. Faham sesat lainnya,
ia mengatakan bahwa seluruh para nabi Allah bukan orang-orang yang terpelihara
(ma’shum). Juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad sudah tidak lagi memiliki
kehormatan dan kedudukan (al-Jah), dan tawassul dengan Jah nabi Muhammad tersebut
adalah sebuah kesalahan. Bahkan mengatakan bahwa perjalanan untuk tujuan ziarah
kepada Rasulullah di Madinah adalah sebuah perjalanan maksiat yang tidak
diperbolehkan untuk mengqashar shalat pada perjanan tersebut. Faham sesat lainnya; ia
mengatakan bahwa siksa di dalam neraka tidak selamanya. Dalam keyakinannya, bahwa
neraka akan punah, dan semua siksaan yang ada di dalamnya akan habis. Seluruh
perkara-perkara “nyeleneh” ini telah ia tuliskan sendiri dalam berbagai karyanya, dan
bahkan di antaranya di kutip oleh beberapa orang murid Ibn Taimiyah sendiri.
Karena faham-faham ekstrim ini, Ibn Taimiyah telah berulangkali diminta untuk
taubat dengan kembali kepada Islam dan meyakini keyakinan-keyakinan yang benar.
Namun demikian, ia juga telah berulang kali selalu saja menyalahi janji-janjinya. Dan
untuk “keras kepalannya” ini, Ibn Taimiyah harus membayar mahal dengan dipenjarakan
hingga ia mati di dalam penjara tersebut. Pemenjaraan terhadap Ibn Taimiyah tersebut
terjadi di bawah rekomendasi dan fatwa dari para hakim empat madzhab di masa itu,
hakim dari madzhab Syafi’i, hakim dari madzhab Maliki, hakim dari madzhab Hanafi,
dan dari hakim dari madzhab Hanbali. Mereka semua sepakat memandang Ibn Taimiyah
sebagai seorang yang sesat, wajib diwaspadai, dan dihindarkan hingga tidak
menjermuskan banyak orang.
Peristiwa ini semua termasuk berbagai kesesatan Ibn Taimiyah secara detail telah
diungkapkan oleh para ulama dalam berbagai karya mereka. Di antaranya telah
diceritakan oleh murid Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Ibn Syakir al-Kutbi dalam karyanya
berjudul ‘Uyun at-Tawarikh. Bahkan di masa itu, Sultan Muhammad ibn Qalawun telah
mengeluarkan statemen yang beliau perintahkan untuk dibacakan di seluruh mimbarmimbar
mesjid di wilayah Mesir dan daratan Syam (Siria, Libanon, Palestina, dan
Yordania) bahwa Ibn Taimiyah dan para pengikutnya adalah orang-orang yang sesat,
yang wajib dihindari. Akhirnya Ibn Taimiyah dipenjarakan dan baru dikeluarkan dari
penjara tersebut setelah ia meninggal pada tahun 728 H.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kehidupan TKI korea

kerja di KOREA..

Mana yang benar untuk penggunaan Laptop, Charge terus atau saat lowbat saja?